Minggu, 31 Mei 2009

KEPUASAN PELANGGAN

Berikut ini saya sajikan pada blog ini tentang Kepuasan Pelanggan (Customer Satisfaction) yang bersumber dari Tulisan saya yang berjudul Kepuasan dan Loyalitas Pelanggan tahun 2000. Semoga bermanfaat, karena banyak produk gagal dipasar akibat ketidakmampuan untuk memenuhi kepuasan pelanggan.

Unilever pernah meluncurkan produk Tara Nasiku. Promosi yang gencar dengan pesan iklan yang luar biasa di berbagai media, terutama media TV, merek ini langsung masuk ke benak konsumen. Banyak konsumen tertarik untuk mencobanya. Tetapi rupanya bermodal pesan iklan saja rupanya tidak cukup. Konsumen tidak mau melakukan pembelian ulang. Akhirnya gagal dan kini sudah tidak dipasarkan lagi. Siklus daur hidup produk merek ini-pun menjadi sangat pendek.

Dari sisi keunikan produk Tara Nasiku memang memilikinya. Produk ini diluncurkan pada saat katagori baru yaitu saat munculnya berbagai produk makanan di pasar seperti semaraknya merek mie instant membanjiri pasar. Masyarakat memerlukan kepraktisan dalam memenuhi rasa kenyang. Oleh sebab itu Tara Nasiku langsung dapat dikenal oleh masyarakat. Mengapa merek ini gagal? Tara nasiku tidak mampu memenuhi harapan dan keinginan konsumen. Harus disadari bahwa nasi di Indonesia merupakan makanan pokok untuk mengenyangkan perut. Bukan jenis camilan. Manajemen rupanya kurang memperhatikan hal tersebut. Beberapa konsumen mengatakan jika makan Tara Nasiku sangat tanggung. Untuk mengennyangkan perut rasanya masih kurang, karena porsinya kurang, tetapi untuk camilan rasanya juga kurang masuk, karena nasi di Indonesia belum dapat dikatagorikan sebagai camilan dan menjadi aneh jika camilannya nasi. Kemudian cara masaknya tidak praktis. Padahal pesan di iklannya sangat praktis. Tinggal diseduh dengan air panas, ditutup dibiarkan sebentar kemudian siap konsumsi. Rupanya masyarakat Indonesia belum siap dengan perubahan budaya masak dan mengkonsumsi nasi dengan cara demikian. Jika di rumah atau di restauran atau rumah makan lebih baik nasi yang dimasak biasa. Berarti penyebab kegagalan kedua adalah kebiasaan masyarakat, dan persepsi yang begitu pekat tentang nasi sebagai makanan untuk mengenyangkan.

Kegagalan merek ini untuk memenuhi kenginan dan harapan konsumen, akhirnya unilever memutuskan untuk tidak memasarkannya lagi, walaupun telah menghabiskan Rp 100 milyar untuk pengembangan produk tersebut.


Definisi Kepuasan Pelanggan

Interaksi antara pelanggan dengan pelayanan atau produk, tidak hanya sekedar mengkonsumsi, tetapi juga memperoleh kepuasan dari performance produk dan pelayanan tersebut. Kepuasan dapat tercapai apabila qualitas dapat memenuhi harapan. La Barbera dan Manzursky (1983 : 393-404) menyatakan, kepuasan pembeli merupakan fungsi dari seberapa dekat antara harapan pembeli atau produk yang bersangkutan dengan daya guna yang dirasakan dari produk yang bersangkutan.

Selanjutnya, Kotler (1995:40) mengatakan bahwa tingkat kepuasan merupakan fungsi dan perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan yang diinginkan kalau kinerja yang dirasakan di bawah harapan. Maka pelanggan kecewa, sebaliknya kalau kinerja sesuai dengan harapan, maka pelanggan puas. Dalam definisinya tentang kepuasan pelanggan, dinyatakan bahwa, “Kepuasan pelanggan merupakan tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan dengan harapan” Oliver dan Rust juga menyatakan, kepuasan pelanggan merupakan hasil dari proses sualusi perbedaan harapan sebelum membeli dengan persepsi kinerja (performance) selama dan sesudah melakukan konsumsi (Oliver 1980:1981 Rust and Oliver : 1994).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Barry dan kawan-kawan (dalam Tjiptono : 1996:83) pembelian pelanggan terhadap kualitas jasa merupakan hasil perbandingan antara harapan (sebelum menerima jasa). Jika harapan terpenuhi mereka akan puas dan persepsinya positif, dan sebelumnya jika tidak terpenuhi maka tidak puas dan persepsinya negatif. Sedangkan jika kinerja jasa melebihi harapan mereka bahagia (lebih sekedar dari puas) hampir mirip dengan hal tersebut, Tse dan Wilton (1988:204) menyatakan ; “respon dari pelanggan pada evaluasi dari perbedaan persepsi terhadap harapan yang diperoritaskan (atau beberapa ukuran dan performance) dengan performance nyata dan produk sebagai persepsi setelah mereka mengkonsumsi”. Begitu pula lebih jauh lagi, Sprang, Mac Kenzia dan Olshavsky (1996) menyatakan, dalam memperbandingkan antara persepsi dengan harapan tidak hanya melahirkan tingkat kepuasan pada produk atau jasa tetapi tiga kepuasan terhadap. Informasi yang didasarkan atas harapan Spreng dan kawan-kawan tingkat, terkonfirmasinya harapan menggunakan istilah “expectation congruency”. Hasil kesimpulan penelitian mereka menyatakan bahwa : Expectation congruency memiliki hubungan yang positif dengan kepuasan pada informasi (tentang ini akan dibahas lebih panjang pada bagian berikutnya Empectation congruency didefinisikan sebagai : pernyataan yang subyektif pelanggan adri terkonfirmasinya harapan dengan performance pelayanan atau produk yang dirasakan oleh pelanggan. Bahkan dalam penelitian yang sama ditemukan pula, terdapat hubungan yang positif terhadap “atributs satisfaction” mereka mendifinisikan “atribut satisfaction” sebagai pernyataan subyektif kepuasan pelanggan sebagai atribut observasi dan atribute performance”.

Spreng dan kawan-kawan membedakan antara harapan dengan keinginan (desire). Dalam bahasan mereka juga menyatakan keinginan yang terpenuhi juga dapat memberikan kepuasan terpenuhinya tingkat keinginan oleh Spreng dan kawan-kawan diistilahkan dengan “desire congruency” dan mereka mendifinisikan sebagai pernyataan subyektif pelanggan tentang tingkat terkonfirmasinya tingkat keinginan oleh performance pelayanan untuk produk yang diterima. Kemudian ditegaskan oleh Spreng “desire congruency” memiliki hubungan yang positif dengan “atribute satisfaction”. Pernyataan yang diperoleh berdasarkan hasil kesimpulan dari penelitiannya tersebut. Juga sesuai dengan ungkapan Ramasavany ( : 81) menyatakan : kepuasan pelanggan akan menjadi maksimal ketika performance dari atribut tersebut berada pada tingkat atau level yang diingini, dan kepuasan menjadi rendah ketika performance dari atribut tidak dapat mengikuti tingkat atau level yang diingini tersebut.


Sumber : Richard A. Sprang, Scott B. Mackenzia dan Richard W. Olshavsky : A “Reaxamination of the Determirants of Consumar Satisfaction”, Joumal of Marketing Vol. 60 (July) 1996

Kemudian, pakar yang lainnya berbicara masalah kepuasan pelanggan adalah : Day (1984 : 496) menyatakan kepuasan pelanggan sebagai : The evaluatife response to the current consumption event … the consumer’s respons in a particular consumption experience to the evaluations (or same norm of parformance) and the actual performance of the product perceived after its alquisition. Westbrook dan Reilly (1983 : 258) menyatakan : ungkapan “emotional response” dari proses evaluasi pengamatan dipersepsi dan (atau tentang keyakinan atau kepercayaan) terhadap obyek pelaksanaan atau tindakan (action), atau kondisi terpenuhinya sebuah value (kebutuhan, keinginan, yang didambakan).

Dari batasan-batasan tentang teori kepuasan pelanggan maka dapat dibentuk model fungsi secara matematis.

S = f (p – a)

= f ( g)

Untuk mencari kesenjangan (gap) antara persepsi dengan harapan dapat dilakukan dengan cara.

S = P – E

= G

Keterangan
S :Tingkat Kepuasan (satisfaction Level)
F :fungsi
P :Persepsi (perseption) tentang kualitas pelayanan atau produk Yang telah dirasakan
E :Tingkat harapan (expectation level) kualitas pelayanan.G :kesenjangan antara harapan dengan persepsi (gap).


Berdasarkan atas rumusan tersebut, ada tiga alternatif tentang kinerja pelayanan. Pertama apabila hasil negatif maka perepsi pelanggan terhadap kinerja atau “performance” pelaksanaan kurang baik, disebabkan kinerja pelayanan atau produk dianggap kurang mampu memenuhi harapan pelanggan. Oleh sebab itu terjadi ketidakpuasan (dissatisfaction). Enggel dan kawan-kawan (terjemahan : 1994 : 210) menyatakan ketidakpuasan tentu saja menerapkan hasil dari harapan yang ditangguhkan secara negatif. Kedua, apabila hasilnya positif maka perepsi pelanggan terhadap. Kualitas pelayanan sangat baik karena kinerja atau “performance” pelayanan atau produk melebihi apa yang diharapkan oleh pelanggan, atau pelayanan dikategorikan memuaskan hal ini dikemukakan juga oleh Enggel (terjemahan 1994 : 54). Ketiga, kinerja pelayanan cukup baik karena sesuai dengan harapan, sehingga cukup puas. Wesbrook dan Nawman (1978 : 456-466) menyatakan ; tampaknya kegagalan dalam memenuhi harapan yang tinggi itu menyebabkan ketidakpuasan ringan. Tetapi pada kesempatan lain mereka dengan kesempatan buruk sebelumnya mengalami kejutan yang menyenangkan dan menunjukkan tingkat kepuasan yang bahkan lebih tinggi dibandingkan mereka yang puas sebelumnya.

Kesenjangan antara persepsi kualitas kinerja pelayanan yang dirasakan dengan harapan pelanggan, dinyatakan oleh Oliver (1980 : 410-469) sebagai berikut :

  • Disconfirmation positif yaitu : kinerja atau performance lebih baik dari pada yang diharapkan.
  • Konfirmasi sederhana yaitu: kinerja atau performance sama dengan yang diharapkan.
  • Diskonfirmasi negatif yaitu, kinerha atau performance lebih buruk dari yang diharapkan.

Kemudian, Rohit Ramaswany dalam Design and Management of service processes, Keeping customer for life… terjadinya disconfirmantion yang positif ketika perepsi terhadap performance lebih baik dari apa yang telah diharapkan: kenyataan ini menyebabkan keadaan pelanggan puas. Disconfirmation yang negatif berarti persepsi pada “performance” lebih buruk dibandingkan dengan yang diharapkan, hal ini menyebabkan ketidakpuasan (dissatisfaction). Terkonfirmasi (atau terjadinya 0 (nol) diskonfirmasi) adalah keadaan netral yang mana berarti ; persepsi pada performance sesuai dengan harapan.


Sumber: Rohit Ramaswamy ; Design and management of service processes, Keeping Customer for life, Addison – Wesley Publishing Company, inc. hal. 345.


Kenyataannya, pelanggan tidak hanya sekedar untuk memenuhi harapan tetapi juga dalam proses pemilihan atau akan mengkonsumsi produk atau pelayanan terdapat komponen bobot tingkat pentingnya suatu atribut tertentu pada pelayanan tersebut. Bobot tingkat pentingnya atribut tersebut mengacu pada tingkat keutamaan atribut tersebut dimata pelanggan (baca bagian sebelumnya tentang atribut). Misalnya dalam satu unit pelayanan di bank, pelanggan lebih mengutamakan kecepatan dibandingkan penampilan atau keramah-tamahan karyawan (managemen tingkat pentingnya atribut atau demensi akan dibahas pada bagian berikutnya). Secara matematis bangunan modelnya adalah sebagai berikut:


Bentuk bangunan untuk model disire cengruency dapat disimak berikut ini (Spreng, Mackenzie, dan Olshavsky : 1996)

Model rumusan tersebut diatas akan menemukan tiga alternatif yaitu ; pertama, jika hasilnya O (nol) maka keinginan pelannggan terpenuhi dengan sempurna yang dapat menjadikan pelanggan puas. Kedua, jika hasilnya negatif berarti keinginan tidak terpenuhi dan performance produk, menjadikan tidak puas. Sedangkan yang Ketiga, jika hasilnya positif, performance modal telah dapat melebihi keinginan pelanggan menjadikan pelanggan sangat puas.

Model idial –point atau perbandingan value-percept dan Westbrook dan Reilly (1983).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar