Minggu, 24 Mei 2009

BALI DALAM KEGAMANGAN

Masyarakat Bali sekarang ada dalam persimpangan. Mereka berada dalam kegamangan antara nilai-nilai masa lalu dan nilai-nilai modern untuk masa yang akan datang. Bahkan ada kalanya mereka seperti tercabut dari akar nilai budaya mereka. Karena masa kini adalah masa yang "membingungkan". dalam kondisi seperti itu sangat sulit untuk dapat memperoleh rasa optimis tentang bentuk masa depan yang idial bagi mereka. Perubahan yang begitu cepat membuat mereka menjadi manusia "kaget" dan "terkejut". Bagimana tidak, kalau dihubungkan dengan tingkat kesiapan mereka beradaptasi untuk mengantifasi perubahan itu, bentuk perubahan tersebut menjadi terlalu dini. Semestinya beberapa tahun yang akan datang tetapi terjadi pada hari ini. sehingga daya adaptasi mereka menjadi kurang kuat. Mereka tidak memiliki waktu untuk ancang-ancang penyesuaian diri.

Mereka berada dalam posisi "kebingungan" antara menengok ke masa lalu dan masa depan. Nilai-nilai lama yang sudah terkenal luhur dan pekat dalam diri mereka, rasanya sangat sulit untuk digantikan dengan nilai-nilai baru. Walaupun demikian terasa dari sebagian nilai-nilai tersebut sudah tidak dapat jalan lagi untuk masa depan. Tetapi dalam kondisi seperti ini sangat sulit membayangkan akan terjadinya perubahan nilai tersebut. Kita bisa lihat bagaimana angklung bambu mulai berpacu dipadukan dengan gitar electrik listrik. "Keresahan" terjadi Ketika gitar electric mulai bertambah nyaring. Walaupun notasi yang dimainkan mungkin sama tetapi cara memainkannya ternyata sangat berbeda.

Cara mereka memandang bentuk masa depan yang idial juga menjadi unik. Mulai dari kebingunangan tersebut muncul berbagai bentuk pandangan masa depan yang idial. Yang satu menyatakan bahwa bentuk masa depan yang idial adalah kembalinya masa lalu yang jaya. Sartono Kartodirjo menyatakan dengan istilah nativisme. Tetapi yang lainnya menyatakan bentuk masa depan idial adalah suatu kondisi yang betul-betul berubah termasuk bayang-bayang masa lalu. Kedua kubu ini memiliki persamaan yaitu menginginkan perubahan, karena masa sekarang merupakan bentuk "kebingungan". Akhirnya untuk mereka yang selalu mengidamkan masa bentuk masa depan yang berubah total, akhirnya menjadi kelompok masyarakat yang reaktif. Ada kalanya nilai-nilai modern baru dapat disentuhnya, tetapi belum sepenuhnya digapai, nilai-nilai lama sudah ditinggalkan. Akhirnya terdapat masyarakat tanpa nilai sebagai standar pijakan.

Kita dapat perhatikan bagaimana kondisi mereka yang berada dalam dua tatanan nilai dalam rutinitas sehari-hari. Satu sisi mereka hidup dalam pola tradistional yang sensitif, tetapi dalam sisi lain mereka ada dalam tuntutan profesional industri. Kita bisa lihat bagaimana Pak Wayan harus membagi waktu antara kegiatan ritual adat dengan mengejar karier dalam sebuah perusahaan BUMN yang bergerak dalam perbankan. Masalahnya mungkin kita dapat atur jika kedua nilai tersebut tidak berbenturan. Tetapi ketika kita sedang harus memenuhi tuntutan karier di perusahaan, pada saat yang sama tuntutan untuk kegiatan adat harus dilakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar